Bulan Jatuh Di pangkuanku no.4

                                          MENGEMBARA DI BELANTARA JAKARTA
                                                       
  ” Bekerja adalah fitrah,.mengemis menghinakan fitrah dan mencuri menghancurkan fitrah ”
                                                                                                                       
                                                                        -- * --

      Terik matahari memanggang kota Jakarta. Aku terus berjalan. Aku tidak tahu kemana arah tujuanku. Jika ada  jalan yang banyak orang berlalu lalang, maka disitu aku melangkah. Berjalan lurus, belok kanan-kiri dan lurus lagi.Aku betul-betul merasa asing. Aku tidak peduli dengan nama-nama jalan. Percuma saja aku tahu karena itu tidak berarti bagiku. Karena  jalanan adalah rumahku.Dan setiap nama jalan bisa aku siggahi bila aku lelah. Atau bila tiba waktu shalat dan di situ ada mushala atau mesjid, disitu pula aku shalat dan berteduh melepas lelah. Kakiku terasa panas. Sepatu kets yang aku pake solnya mulai tipis dan tidak dapat menahan panasnya jalan. Kulitku terasa perih menggigit-gigit.Tas rangsel yang aku sampirkan dipundakku, kadang aku pakai untuk menutupi kepalaku agar tidak tersengat panas sinar matahari. Bila aku letih aku berhenti dan berteduh dibawah pohon atau halte atau diemper-emper toko. Sebotol aqua yang aku beli aku minum dua, tiga teguk saja, sekadar melepas dahaga. Aku tidak meminumnya sekaligus. Aku irit seiritnya.. Minum aqua sudah terlalu mewah bagiku.Lebih tepat kalau aku sebut meneteskan air aqua ditenggorokan. Begitu juga dengan biskuit yang aku beli, kucicil memakannya, satu biskuit tiap aku merasa lapar.Bersyukur,aku sudah terbiasa berepuasa, jadi soal menahan lapar bagiku tidak menyulitkanku.  Aku betul-betul mempetimbangkan segala sesuatunya. Wang di dompetku hanya lima puluh ribu rupiah. Bisa apa dengan wang sebesar itu di Jakarta ? Dan mampu bertahan berapa lama? Bila wang telah abis bagaimana? Aku mulai berpikir aku harus mencari wang dengan jalan bekerja. Kerja apa saja asal halal. Kerja apa? Apakah ada orang yang mau mempekerjakan gelandangan seperti aku ini? Tidak memiliki alamat jelas? Aku berpikir. Pikiranku menerawang jauh.Mencari jalan. Lagi-lagi buntu.Aku duduk  ditrotoar depan Bank Indonesia tidak jauh dari stasiun kererta api Beos Kota. Di bawah sebuah pohon Akasia.,angin semilir menerpa wajahku terasa sejuk. Inilah Karunia Allah Swt,disaat aku kepanasan,Dia mengirimkan angin semilir dan seketika itu juga kepenatan hilang..Aku duduk dengan melipat kedua tanganku dan kuletakkan pada kedua lutut.Aku menunduk dimana wajahku kusandarkan pada lipatan tangan tsb.Di terpa angin semilir membuat aku kantuk.Sayup-sayup deru mobil,motor dan bajaj masih terdengar, lama-lamat menghilang. Aku berada  pada suatu kota yang dimana kota itu  memiliki satu gedung tempat orang -orang bertemu membicarakan seni dan budaya. Aku salah satu diantara sekian banyak orang itu. Anehnya orang-orang pada menyelamiku.Lebih aneh lagi kulihat ibuku memakai baju serba putih dan dia tersenyum manis padaku. Aku turun dari pentas ingin memeluknya. Tapi begitu sampai di hadapannya, dia berlalu keluar sambil melambai-lambaikan tanganya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Aku teriak memanggil-manggilnya. Ibuuu...ibuuu
   " Kabur! Kabur! ”
   ” Tamtib! Tamtib!
    Aku kaget dan terbangun. Keadaan jadi kacau. Para pedagang kaki lima,Gepeng dan pengamen pada berlarian.Kocar-kacir menyelamatkan diri dan dagangan masing-masing dari kejaran petugas Tamtib sedang mengadakan pembersihan di kawasan Kota. Aku tidak mau konyol,aku ikut menyelamatkan diri dari garukan Tamtib yang dikenal keras itu. Konon kabarnya, hanya orang-orang yang keras yang direkrut jadi anggota Tamtib. Tidak jarang mereka main kekerasan dalam menertibkan pedagang dan Gepeng. Aku lari ke arah stasiun. Tidak jauh dari stasiun, seorang perempuan paruh baya,sedang memunguti jualannya.dan memasukkannya ke dalam keranjang yang cukup besar,ada dua keranjang. Prempuan itu tampak gugup dan tergesa-gesa. Keadaan betul-betul kacau. Suara gerobak dan lapak-lapak terdengar dilempar ke atas truk. Jerit dan tangis mewarnai penertiban itu.
      ” Ayoh, Mak, cepat napa, Mak, ” teriak sesamanya pedagang pada ibu paruh baya itu.
      ” Ada Serangan Fajar,Mak, ” teriak seorang pengasong ,cenge-ngesan.
     ” Tolong, Nak! Tolong, Mak, Nak! ” pinta ibu paruh baya,yang dipanggil Mak itu, memohon bantuan kapada setiap orang yang melintas dihadapannya. Tapi tidak ada satu pun yang peduli padanya, orang-orang lebih memilih menyelamatkan diri masing-masing. Mak yang nampak tua itu mulai putus asa. Dia terisak, Aku pikir aku harus menolong Mak itu. Aku tidak punya beban apa-apa. Hanya ransel yang aku punya. Kalau kena digaruk, ya,apa boleh buat. Itu lebih baik, ketimbang Mak. Pikirku praktis. Berapa banyak orang yang bersandar dari hasil julan Mak itu? Suami,terutama anak-anaknya sudah pasti telah menunggunya di rumah,dengan harapan Maknya selamat dan membawa rizki.yang banyak.Alangkah naasnya Mak itu jika kena garuk.
     ” Saya bantu,Ya,Mak, ” ujarku menawarkan diri, sambil kupunguti dagangannya.
     ” Alhamdulillah,Nak,terima kasih,Nak,” 
     ” Sama-sama,Mak, ” sahutku terus memunguti kue dan roti yang berserakan diatas tanah karena terjatuh akibat paniknya Mak itu. Kue itu di taruh di atas tampan besar yang diletakkan di tas keranjang. Sangking panik dan kaget ,entah bagaimana Mak itu,menyenggol nampan itu sehingga kue-kue dan roti berserakan. Begitu pula dengan ke dua keranjangnya,terjungkal.. Tabiat Tamtib, kalau mengadakan pembersihan,selalu dadakan. Serangan Fajar, begitu istilah para Gepeng. Dimata mereka, Tramtib menjadi momok tersendiri dan paling dibenci.
     ” Ayo,Nak, kabur,Nak, ” kata Mak telah siap-siap menenteng satu keranjang .
     ” Oke, Mak, Kabur,” balasku menenteng keranjang sambil menggandeng tangannya. Baru beberapa meter aku dan Mak kabur,seketika kuhentikan langkahku.. Pantasan, kuperhatikan dari tadi, jalan Mak tidak nyaman karena tidak memakai sandal. Kutengok ke kebelakang, ” Tunggu,Mak, sandal ,Mak ketinggalan,”
    ” Udah,gak usah, Nak, ”
    ” Jangan, Mak, kalau gak pake sandal, nanti kaki, Mak melepuh oleh panasnya aspal,” balasku. Aku kembali mengambil sandal  itu. Tamtib semakin dekat.dan jerit tangis jelas kudengar..
    ” Ayo,Nak, cepetan,Nak, ”
    ” Ini,Mak,sandalnya, ” kuletakkan sandal itu di depannya.
   Dengan tergesa-gesa Mak memakai sandal jepitnya, dia tidak peduli lagi mana sandal kiri,mana sandal kanan. Pokoknya masuk dikakinya. Aku terus menuntunnya,melewati stasiun Beos. Orang-orang di sekitar situ pada melihat Tamtib beraksi, jalan macet. Karena pengemudi memelankan laju mobilnya sambil menyaksikan pemandangan yang amat memilukan ini.
      ” Hai,Bung! Rakyat miskin,anak-anak terlantar dan gelandangan dipelihara oleh negara! Itu amanat UUD 45 ! ” teriak salah seorang bapak melongok keluar dari jendela mobil BMW-nya.
     ” Kalau mau protes di Senayan sana! ” balas salah seorang anggota Tamtib dengan mengacungkan pentungnya.
    ” Uuuhhhh!!!! ” sorak penumpang bis yang jalannya tersendat. Sumpah serapah pun keluar dari mulut sopir-sopirt angkutan umum kepada Tamtib itu..
    ” Kita kemana,Nak? ” tiba-tiba Mak bertanya kepadaku. Aku menoleh kekiri dan kekanan mencari tempat yang aku anggap aman
    ” Ke Pinangsia, Mak, ” jawabku. Lalu aku bawa Mak menyeberang ke jalan Pinangsia. Aku memutuskan ke Pinangsia,dengan pertimbangan ,pembersihan Tamtib di fokuskan pada area depan BNI,stasiun Beos.dan Mangga Dua. Tamtib menyisir dari BNI menuju stasiun Beos terus ke Mangga Dua. Kalau aku ke arah Mangga Dua sudah barang tentu kena garuk. Dan kalau ke area Bank Mandiri dan Asemka, yang terletak di depan stasiun Beos ,jelas jauh. Satu-satunya jalan terdekat dan aman,ya, ke Pinangsia,tinggal menyeberang.dan sampai.
    ” Di sini ,Mak, aman., ’ kataku,di emperan toko keramik. Kuletakkan kedua keranjang kue,lantas Mak aku bantu duduk . ” Atur napas,Mak, ” kulihat Mak ngos-ngosan. Aku jatuh iba padanya. Di usianya yang tidak lagi muda ini,masih bergelut dengan kerasnya kehidupan Jakarta. Wajahnya, berkerut dan hitam. Akibat dipanggang terik matahari. Peluh mengucur di dahinya. ” Sudah baikan,Mak? ”
    ” Ee..eh, ” jawabnya mengangguk-angguk.
    ” Mak, minum dulu biar legaan, ” kuberikan botol aqua kesayanganku,botol aqua yang kuhemat-sehemat-hematnya. Glek..glek..glek..suara dari kerongkongan Mak..
    ” Ahhh...terimakasih,Nak, Mak baikan sekarang, ” ujarnya tersenyum. Aku pun tersenyum Kumasukkan botol aqua hemat sehemat-hematnya itu ke dalam ransel..
    ” Mak, disini saja jualan, disini aman. Lagian banyak orang lewat disini. Gimana,Mak? ”
    ” Terimakasih,Nak.Mak akan coba.siapa tahu rizki Mak disini, ”
    ” Aamiiinnn, ” 
 Setelah urusanku dengan Mak selesai, kutinggalkan dia berjualan diemperan to

Komentar

Postingan Populer