Bulan Jatuh Di Pangkuanku bag 5

Setelah urusanku dengan Mak selesai, kutinggalkan dia berjualan diemperan toko keramik itu..Aku berharap Mak akan aik-baik saja. Aku lihat sepanjang  jalan Pinangsia dipadati oleh aneka macam toko alat-alat rumah tangga.Dan tokonya bagus-bagus kepunyaan orang keturunan.Sepanjang hari toko-toko di sini ramai dikunjungi pembeli.
    ” Nak! Nak! , ” 
    Aku berhenti, itu suara Mak. Aku berbalik. Mak menuju ke arahku.
    ” Ada apa,Mak? ”
    ”Anak... siapanamanya?”
    ” Kahfi,Mak.? ”
    ” Nak,Kahfi mau menerima ini kan? ”
    ” Apa ini,Mak?, ” kubuka kantong kresek pemberiannya, ada roti dan kue, ” Gak usah.Mak. Mak nanti tekor, ”
   ” Jangan begitu,Nak.menolak pemberian orang tua. Pemali,Nak.Tdak bolehkah,Mak berbuat baik kepada anak yang telah menolong,Mak? ” tanyanya bernada tulus. Aku terharu. Kutatap Mak lekat-lekat. Duh,sungguh mulia hati Mak ini. Sungguh beruntung anak yang beribukan seorang perempuan yang berhati malaikat,seperti Mak ini. Dia rela sehari-harinya mandi debu dan  asap knalpot demi sesuap nasi untuk keluarganya. Menurut pengakuannya, dia berjualan untuk membantu ekonomi rumah tangganya. Penghasilan suaminya sebagai penyapu jalanan tidak mencukupi untuk membiayai sekolah ketiga anaknya. Dia tidak menyebutkan sekolah dimana anak nya itu.Ada SMA dan SMP..
    ” Baik,Mak. Saya terima pemberian, Mak. Saya doakan semoga jualan,Mak,laris manis, ”
    ” Aamiinn...” sambungnya tersenyum lebar..
.     .Kutinggalkan Mak yang bernama Tifah itu. . Selanjutnya,aku pergi entah kemana? .Kalau orang-orang bepergian , pasti akan pulang ke rumah. Burung-burung terbang jauh pasti akan kembali ke sarangnnya.. Aku berjalan dan berjalan mau pulang kemana? Dan bila  malam tiba,aku diliputi kecemasan. Mau tidur dimana aku malam ini? Kalau bisa lebih baik siang terus tidak usah ada malam. Begitu pikiran konyol itu terlintas.  Bagiku malam amat menakutkan.Karena malam hari biasanya kejahatan banyak terjadi. Dan masalah istirahat malam hari itu yang aku pikirkan. Pernah aku mencoba tidur di Mushalla. Setelah shalat Isya aku membaca Al-Qur`an seperti yang sering aku lakukan, selembar dua lembar sedapatnya. Seorang Marbot mushla datang menghalauku, alasannya aku mengaji hanya sebagai kedok mau nginap di mushala. Aku jelaskan itu sudah kebiasanku mengaji. Tapi kalau soal nginap, jika dizinkan aku berterima kasih. Sekalipun itu di teras .Sang marbot tetap tidak menginzinkan dengan alasan pencurian.
     ” Musahala ini sudah sering kecurian dan pelakunya,tipe seperti andalah, ” kata Marbot berdalih. Astagafirullah! Orang ini sudah berburuk sangka kepadaku. Aku maklum kalau sikap Marbot  sedikit arogan begitu,karena dia hanya menjalankan tugas. Kejahatan dimana saja dapat terjadi,di Mesjid atau di Mushala sekalipun.Pelaku kriminal makin kalap saja,tidak dapat membedakan ini kotak amal atau bukan. Terlebih dijalan,kejahatan makin kasat mata. Dengan hati berat kutinggalkan Mushala Di luar Mushala sudah sepi, tidak tampak orang lalu–lalang. Mungkin situasi yang sepi inilah yang dimanfaatkan oleh maling mencuri di Mushala? Tidak jauh dari Mushala, ada mobil mogok sedang di utak-atik yang empunya . Gelisah benar si Bapak itu. Aku yaklin keadaan sepi begini yang membuat dia gelisah. Sayang aku tidak tau soal mobil,kalau aku ngerti akan kutolong.
     ” Dik, bisa tolong ,Bapak? ” tiba-tiba Bapak itu menegurku saat melintas di sampingnya.
     ” Apa yang dapat saya bantu,Bapak? ”
     ” Dapatkah ,Adik membelikan, Bapak bensin di SPBU di seberang sana?, ” kata Bapak itu menunjuk ke arah Selatan.
     ” Emang mobilnya kehabisan bensin,Bapak? ”
     ” Iya, Dik. Bisakan, Adik tolong?”
     ” Boleh,Bapak, ” sahutku. Bapak itu mengeluarkan dompet dan memberiku wang seratus ribu rupiah.
     ” Ini,Dik. Beli saja sepuluh liter. Di SPBU biasanya dijual cerigen, ”
       Aku pergi ke arah Selatan. Betul disana ada SPBU. Untung SPBU sedang sepi, jadi aku tidak perlu antri. Urusan beli bensin, selesai, tidak ada kesulitan.
     ” Bagaimana,Dik, dapat ? tanya Bapak berpenampilan bersih dan harum itu, saat melihat aku cepat sekali kembali. Sebetulnya dia tau kalau aku dapat bensin, dia tersenyum  melihat aku menenteng ciregen.
    ” Alhamdulillah, dapat,Bapak, ” jawabku meletakkan ciregen yang penuh bensin itu di hadapannya. 
    ” Bagaimana cara memasukkan bensin ini,ya? ” gumam Bapak itu pada dirinya sendiri. Aku melihatnya, Dia tertawa kecil. Sambil geleng-geleng kepala. Tidak ada selang.
    ”  Bagaimana kalau pakai ini,Bapak? ” aku menyodorkan karton map yang kucomot dari pembungkus bukuku. Bapak itu tertawa tanpa suara.
    ” Boleh kita coba, ” ajaknya. Kugulung berbentuk kerucut karton itu dan di ujungnya aku bolongi sehinga mirip corong.
   ” Maaf.Bapak pegang ini dan aku yang menuang bensin ke dalamnya, ” ujarku, jadilah Bapak itu memegang corong karton itu dan kutuang bensin sampai tuntas. Tentu perlahan-lahan agar tidak banyak bensin yang tercecer.
     ” Wah,boleh juga idemu,Dik,"
     Bapak itu menstater mobil Avanza merahnya. Drem..drem...hidup seketika.  ’
     ” Tunggu,Dik. Adik jangan buru-buru pergi. Sebagai tanda terima kasih dari Bapak, harap adik mau menerima pemberian ,Bapak,” ucapnya dengan menyodorkan selembar wang merah bergambar Soekarno- Hatta.
     ” Maaf,Bapak, saya tidak boleh menerimanya, saya ikhlas. Biarlah Allah yang membalas Kepercayaan yang .Bapak berikan kepada saya, dengan menyuruh membeli bensin dengan bekal wang seratus ribu rupiah, bagi saya itu suatu jumlah yang besar. Dan  merupakan suatu kehormatan bagi saya, melebih dari apa yang ingin,Bapak berikan kepada saya. Saya harap,Bapak tidak marah dengan penolakan saya ini,” kilahku. Kulihat, Bapak itu tertegun sejenak.Dia tidak menyangka aku menolak pemberianmya.’ Kalau boleh saya tau,mengapa Bapak tidak takut wang Bapak saya bawa kabur? ”
    ” Mengpa Bapak harus takut?! Adikkan dari Mushalla bertemu dengan Tuhan,  Bapak yakin,Tuhan orang Islam benci pencuri  ” tukasnya.
    ” Maaf,Bapak bukan bukan seorang muslim? ”
    ” Ya, ” angguknya, " Bapak seorang kristiani, ".
    ” Begitu juga dengan  Tuhan orang Kristen benci pencuri, ” ujarku. Bapak itu tersenyum ,aku juga.
    ” Ini kartu nama ,Bapak,Dik. Siapa tahu adik memerlukannya suatu masa nanti,. Oh,nama adik sipa? ”
    ” Kahfi, Bapak. Muhammad Kahfi, ”
    ” Kahfi,nama yang bagus.Trimakasih,ya,Dik, ”
    ” Sama-sama ,Bapak ” .    
       Drem..dremm Avanza Bapak Yohanes pun meluncur ke arah Barat. Tinggallah aku berjalan kaki seorang diri. Aku rogoh ranselku, roti pemberian Mak Tifah masih tersisa.Perutku mulai keroncongan. Kuambil roti itu,lalu kumakan. Kue ,sejak kemarin kuhabiskan.karena kue tidak tahan lama.Lain dengan roti,dapat bertahan sampai lima hari. Ini roti Mak Tifah ,yang terakhir.Malam ini harus aku habiskan,sebab besok sudah kadaluarsa. Lagian, tinggal satu..Cukup untuk mengganjal perut. Malam kian larut,letih mulai terasa.  Akan kemanakah aku ini? Malam-malam begini,aku harus mencari tempat berteduh. Kucari Mesjid, Mushala atau Surau. Siapa tahu ada pengurus yang berbaik hati mengizinkan aku menginap di rumah Allah itu. Bila tidak bisa, terpaksa dimana saja, yang penting aman.Kehidupanku terus bergulir.tidak terasa,  sudah sebulan aku mengelana di belantara Jakarta. Terjadi perubahan drastis pada diriku, kulitku yang kuning langsat berubah menjadi coklat kehitaman, wajahku cekung dan tirus.Warna rambutku seperti rambut jagung alias kusam. Berat badanku turun banyak, itu nampak jelas pada tonjolan urat-urat pada lenganku. Badanklu yang tinggi,kelihatan semakin kurus. Bila berjalan seperti tiang listrik dan bila ada angin kencang ,aku pikir aku dapat saja dihempas oleh angin. Karena saking kurusnya aku. Belum lagi sakit di ulu hatiku sering datang, membuat perasaanku was-was kalau aku sampai ampal dan masuk rumah sakit. Sakit ini akibat makan tidak teratur. Ditambah lagi oleh  pikiranku yang tidak-tidak,kalau-kalau aku mendapat musibah. Siapa yang akan menolongku? Aku tidak punya wang dan sanak saudara di Jakarta. Aku hanya pasrah,semuanya kuserahkan kepada Allah. Dan Alhamdulillah,Allah Swt masih melindungiku. Malam itu, aku beteduh di depan pasar pagi Mangga Dua..Tepatnya di bawah jalan layang. Hujan rintik-rintik. Jalan sangat sepi. Tidak ada kendaraan yang lewat..Tengah malam,kukira. Warga sudah lelap dibawa mimpi. Hawa dingin menyergap tubuhku yang ceking. Aku duduk beralaskan koran di tiang penyanggah jalan layang. Kios-kios yang berada di bawah jalan layang ini sudah pada tutup.Penjaganya pun tidak ada. Tinggallah aku seorang diri.Aku duduk sambil tidur. Sesekali mataku melek. Terkantuk-kantuk.Tidur ayam,kata orang. Sengaja,aku tidak tidur lelap.Karena aku meski waspada, sebab sewaktu-waktu  preman Mangga Dua dengan tiba-tiba dapat mencideraiku.Preman itu sok berkuasa,setiap tempat, mereka mengklaim daerah kekuasaannya.Tidak boleh sembarangan orang memasukinya,apalagi berteduh disitu.

Komentar

Postingan Populer